Lika-Liku Rahadian, Mahasiswa Autistik Lulus S2 di UPI dalam 2,5 Tahun

Lika-Liku Rahadian

Lika-Liku Rahadian – Di balik kelulusan program magister yang tampak biasa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), ada cerita luar biasa yang mengguncang batas normalitas. Nama Rahadian, mungkin belum dikenal luas. Tapi prestasinya—lulus S2 hanya dalam waktu 2,5 tahun—layak menjadi tamparan keras bagi stigma yang selama ini melekat pada penyandang autisme.

Ya, Rahadian adalah mahasiswa autistik. Dalam dunia yang kerap menatap curiga pada kemampuan orang-orang seperti dirinya, Rahadian membalikkan narasi dengan pencapaian akademik yang tidak hanya cepat, tetapi juga sarat makna. Di tengah tekanan, ekspektasi rendah, bahkan kadang penolakan sosial, ia berdiri dengan tegar, menyelesaikan pendidikan tinggi tanpa meminta keringanan.

Autisme Bukan Halangan—Tapi Justru Senjata

Banyak yang salah kaprah soal autisme. Seakan-akan label itu adalah vonis ketidakmampuan. Namun, Rahadian membuktikan bahwa autisme bukanlah hambatan, melainkan jalur berbeda yang tak kalah valid menuju keberhasilan.

Ketika mahasiswa lain mungkin mengeluh soal tugas atau skripsi yang menyita waktu, Rahadian justru menjadikan struktur dan rutinitas—dua hal yang sering melekat dalam karakteristik autisme—sebagai keunggulan. Ia menjalani setiap fase kuliah dengan disiplin militer. Tidak ada kompromi. Tidak ada malas-malasan. Di saat banyak mahasiswa terjebak dalam distraksi dunia maya, Rahadian justru tenggelam dalam jurnal, buku referensi, dan riset-riset akademik yang membentuk fondasi tesisnya.

Fakultas Pascasarjana UPI mencatat, Rahadian tidak pernah meminta perlakuan khusus. Ia bersaing di jalur yang sama, menulis tesis dengan standar yang ketat, dan menghadapi sidang dengan pertanyaan kritis dari para dosen. Ia menjawab semuanya. Bukan dengan kelebihan retorika, tapi dengan kedalaman analisis dan akurasi data yang tak bisa di bantah.

Tantangan Tak Pernah Istirahat

Di balik layar keberhasilan Rahadian, terhampar medan perjuangan yang tak bisa di remehkan. Ia pernah mengalami kecemasan sosial akut, bahkan kesulitan berkomunikasi dalam kelompok di skusi. Banyak kali ia di anggap “aneh” oleh rekan sekelasnya. Bahkan ada dosen yang sempat meragukan kemampuan komunikasinya di awal perkuliahan.

Tapi bukan Rahadian namanya jika menyerah. Dengan bantuan mentor akademik yang sabar dan lingkungan yang perlahan mulai terbuka, ia melatih dirinya untuk berani menyampaikan pendapat. Ia mempelajari pola-pola interaksi sosial dengan cara yang sistematis spaceman gacor. Tidak instan, tapi konsisten.

Malam-malamnya bukan hanya di isi dengan belajar, tapi juga dengan simulasi interaksi—berbicara di depan cermin, merekam suara sendiri, membaca ulang kalimat demi kalimat agar tak salah ucap. Semua itu di jalaninya sendiri, karena ia sadar dunia tidak akan menyesuaikan diri untuknya.

Keluarga, Pilar yang Tak Tergantikan

Perjalanan Rahadian tidak mungkin terjadi tanpa dukungan keluarga. Sang ibu, yang sejak awal menyadari bahwa anaknya berbeda, bukan menyesali kenyataan itu. Ia justru menjadi “tembok pertahanan” pertama Rahadian dari gempuran stigma sosial. Dari kecil, Rahadian di latih untuk mandiri. Tidak di manja, tidak di tutupi dari dunia luar.

Orangtua Rahadian menolak menyekolahkan anaknya di sekolah luar biasa (SLB). Bukan karena SLB tidak bagus, tapi karena mereka percaya anaknya bisa bersaing di sekolah umum. Mereka menanamkan prinsip bahwa Rahadian boleh berbeda, tapi bukan berarti rendah.

Kepercayaan itulah yang terus mengakar. Saat Rahadian di terima di UPI untuk program S2, keluarga langsung menyusun strategi dukungan: dari pengaturan tempat tinggal, logistik, hingga jadwal istirahat dan konsultasi psikolog. Semua demi menjaga kestabilan mental dan emosional Rahadian.

Sistem Pendidikan Harus Berkaca

Cerita Rahadian harus menjadi cermin besar bagi institusi pendidikan di Indonesia. Sudah terlalu lama sistem kita mengabaikan kelompok neurodivergent. Padahal, jika di beri ruang dan dukungan yang tepat, mereka bisa menunjukkan kualitas akademik yang mengejutkan.

UPI patut di apresiasi karena tidak mencoret Rahadian dari daftar penerimaan hanya karena statusnya sebagai individu autistik. Tapi kita butuh lebih dari sekadar penerimaan. Kita butuh sistem yang benar-benar inklusif—mulai dari dosen yang terlatih menghadapi mahasiswa neurodivergent, hingga birokrasi kampus yang tidak berbelit untuk kebutuhan khusus. Rahadian menunjukkan bahwa inklusi bukan tentang belas kasihan slot bet kecil. Ini tentang membuka ruang bagi mereka yang punya potensi tapi terpinggirkan oleh standar normalitas sempit.

Tidak Sekadar Lulus—Tapi Mengubah Paradigma

Apa yang di lakukan Rahadian bukan sekadar pencapaian pribadi. Ini adalah pembuktian sosial. Bahwa autisme bukan akhir dari mimpi. Bahwa kejeniusan bisa muncul dari jalan yang tak lazim. Dan bahwa dunia akademik harus berhenti memaksa semua orang masuk ke dalam cetakan yang sama.

Baca juga: https://cpanel.diltren.kemenagkotabaru.info/

Rahadian, dalam diamnya yang penuh makna, telah berteriak paling lantang: Tidak ada alasan bagi sistem pendidikan untuk mengecualikan siapa pun. Dan mungkin, itulah gelar paling bergengsi yang bisa di berikan padanya—bukan sekadar “Magister”, tapi “Pemecah Batas”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *